Friday, January 13, 2012

Enid Blyton: a Psycho or a Hypocrite?

By: Sri Noor Verawaty


Siapa yang tak kenal dengan Enid Blyton (11 Agustus 1897 – 28 November 1968), penulis wanita legendaris asal Inggris yang telah menelurkan 753 judul atas nama dia dalam kurun waktu 45 tahun. Enid Blyton memiliki nama pena Mary Pollock, diambil dari nama suami pertamanya, yaitu Hugh Alexander Pollock. Karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 90 bahasa. Beberapa buku Blyton yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia antara lain adalah serial “The Famous Five” (1942-1963) yang diterjemahkan menjadi “Lima Sekawan”, serial “Malory Towers” (1946-1951), serial “The Secret Seven” (1949-1963) atau “Sapta Siaga” dalam bahasa Indonesianya, serial “St. Clare's” (1941-1943), serial “Noddy”, dan beberapa judul lainnya. Aku tumbuh dengan membaca cerita-cerita Enid Blyton, dan kini kuwariskan buku-buku Blyton untuk putri 4 tahunku.

Beberapa minggu lalu aku menonton film biografi Enid Blyton dengan judul “Enid” yang dibuat oleh BBC tahun 2009. Film ini diperankan oleh Helena Bonham Carter (sebagai Enid Blyton), Matthew Macfadyen (sebagai suami pertama Blyton, Hugh Pollock), dan Denis Lawson (sebagai suami kedua Blyton, Kenneth Darrell Waters). Menonton film ini membuatku merasa benar-benar kaget. Aku merasa dicurangi oleh Enid Blyton, oleh cerita-cerita yang ditulisnya dan oleh keyakinan masa kecilku tentang bagaimana pribadi Blyton sesungguhnya.

Telah kusebutkan sebelumnya, aku tumbuh dengan membaca cerita-ceritanya. Selain serial Alfred Hitchcock (Trio Detektif), buku-buku Blyton adalah favoritku. Yang paling banyak aku baca adalah petualangan Lima Sekawan dan Malory Towers. Buku-buku Blyton adalah salah satu memori indah di masa kecilku. Di dalam bayangan dan harapanku, Enid Blyton adalah seorang wanita (aku pernah menyangka dia adalah seorang laki-laki) tua yang lembut, baik hati dan menyenangkan. Namun setelah menonton film Enid, aku jadi mempertanyakan siapakah Enid Blyton sesungguhnya? Apakah dia seorang psycho atau hipokrit?

Enid Blyton lahir pada tanggal 11 Agustus 1897 di Lordship Lane 354, London, Inggris. Dia adalah putri pertama dari Thomas Carey Blyton (1870–1920) dan istrinya Theresa Mary Harrison Blyton (1874–1950). Blyton memiliki dua adik laki-laki, yaitu Hanly (1899–1983) dan Carey (1902–1976). Di film “Enid”, diceritakan bahwa suatu hari ayah Blyton meninggalkan rumah setelah bertengkar dengan ibunya. Kejadian ini membuat Blyton tidak pernah memaafkan ibunya karena Blyton adalah anak kesayangan sang ayah. Saat beranjak dewasa, Blyton meninggalkan rumah untuk bersekolah menjadi guru dan sejak itu pula dia tidak pernah lagi pulang. Pada semua orang Blyton mengaku bahwa ibunya sudah meninggal. Dia juga tidak pernah mengakui lagi adik-adiknya. Blyton selalu mendeskripsikan ayahnya sebagai pria yang sempurna, walaupun menurut Hanly—adik Blyton—penyebab ayahnya bertengkar dengan sang ibu dan pergi meninggalkan mereka adalah karena dia berselingkuh dengan wanita lain.

Perjuangan menulis Blyton dimulai saat dia mulai memasukkan tulisan-tulisannya ke sejumlah penerbit. Akhirnya sebuah penerbit menerima karya Blyton. Dan di sini pulalah dia bertemu dengan suami pertamanya, Mayor Hugh Pollock, seorang verteran perang. Tak lama kemudian Blyton dan Pollock pun menikah. Blyton memiliki masalah dengan rahimnya yang membuat dia mengalami kesulitan untuk mengandung. Namun akhirnya Blyton berhasil melahirkan dua orang putri, yaitu Gillian Mary Baverstock (15 Juli 1931 – 24 Juni 2007) dan Imogen Mary Smallwood (lahir tanggal 27 Oktober 1935). Pernikahan pertama Blyton dengan Pollock diwarnai dengan sejumlah perselingkuhan Blyton.

Blyton yang selalu ramah dan hangat pada anak-anak fans buku-bukunya—yang dia sebut sebagai “teman-teman kecilnya”—tidak pernah hangat pada putri-putrinya sendiri. Blyton bersikap keras pada Gillian dan Imogen, bahkan sejak mereka masih bayi. Berlawanan sekali dengan sikap yang dia tunjukkan pada anak-anak yang menjadi fansnya. Suatu sore Blyton mengundang sejumlah anak ke rumahnya untuk minum teh. Mereka bersenang-senang dan tertawa-tawa, sementara Gillian dan Imogen duduk diam di tangga. Blyton malah menyuruh pengasuh untuk “menyingkirkan” mereka berdua ke kamarnya di lantai atas. Blyton tak pernah ada waktu untuk kedua putrinya. Sepanjang hari dia mengetik dan mengetik cerita indah untuk anak-anak lain. Gillian pun dia kirim ke sekolah asrama.

Saat perang pecah kembali, Mayor Pollock pergi ke medan perang. Blyton sama sekali tidak bersimpati pada peristiwa yang terjadi di luar sana maupun pada pilihan suaminya untuk membela negara. Blyton tetap hidup di dalam dunia fantasinya, melanjutkan menulis di rumah besarnya yang nyaman dan berselingkuh dengan para lelaki. Setiap kali dia menghadapi peristiwa mengecewakan dalam hidup, dia akan melarikan diri ke dalam dunia fantasinya yang selalu indah. Blyton mengubur diri di sana.

Satu perselingkuhan yang memicu perceraian Blyton adalah dengan seorang dokter gigi yang sudah beristri, Kenneth Darrell Waters. Perselingkuhan ini cukup serius hingga membuat Blyton meminta cerai dari Pollock. Blyton memperalat Pollock dan mengajukan tawaran bahwa Pollock akan diperbolehkan untuk bertemu dengan kedua putrinya kapanpun dia mau, tapi dengan sarat perceraian itu didasari alasan bahwa Pollocklah yang melakukan perselingkuhan, bukan dia. Blyton berdalih, jika publik mengetahui dialah yang berselingkuh, maka reputasi dia pasti akan hancur lebur. Dengan iming-iming akses yang tak terbatas untuk bertemu dengan kedua putrinya, Pollock pun setuju. Namun setelah bercerai, Blyton mengingkari janji dan malah menutup akses Pollock pada kedua putrinya sama sekali. Setelah menikah dengan Waters, Blyton pun mengirim putri keduanya ke sekolah asrama.

Itulah sejarah hidup Enid Blyton yang sama sekali bertolak belakang dengan bayanganku di masa kecil tentang seorang wanita tua lembut yang baik hati dan menyenangkan. Di sinilah aku merasa dikhianati. Oleh Blyton dan oleh prasangkaku sendiri tentang kebaikannya. Membuatku mempertanyakan kembali semuanya. Setelah melihat film “Enid”, sudut pandangku terhadap Blyton berubah 180 derajat. Aku mencap dia tak lebih dari seorang wanita psycho. Dan karya-karyanya tak lebih dari sekadar kemunafikan. Aku sangat kecewa.

Beberapa hari kemarin aku pulang ke rumah ibuku dan menemukan buku-buku lama milikku sewaktu kecil dulu. Salah satu diantaranya adalah buku karya Enid Blyton yang berjudul “Cermin Ajaib dan Cerita-Cerita Lainnya.” Sudah sekitar tiga malam ini aku membacakan cerita-cerita pendek di dalamnya untuk putriku. Setiap cerita yang kubaca, membuatku merasa lebih baik dan pelan-pelan mengembalikan rasa hormatku pada seorang Enid Blyton. Tak bisa dipungkiri memang, dia adalah seorang pengarang yang hebat. Terlepas dari bagaimanapun kehidupannya dulu, cerita-cerita yang Blyton tulis memang luar biasa. Menyenangkan, seru, dan penuh pesan moral. Terlepas dari bagaimanapun karakter Blyton sesungguhnya, cerita-cerita Blyton memang layak dibaca oleh kita dulu dan oleh anak-anak kita kini.

Sri Noor Verawaty

4 comments:

  1. Mbak, well said! Aku juga sampai bengong banget nonton "Enid". Bayangan tentang Enid Blyton langsung hancur lebur, deh! :)) Tapi seperti yg mbak tulis, di luar personality, buku2nya memang tak lekang oleh zaman. Sampai sekarang belum ketemu lagi dengan penulis buku genre anak/remaja yang bisa meninggalkan kesan sehebat Blyton (dan Astrid Lindgren).

    Salam,
    JW

    ReplyDelete
  2. hadoh mbak, saya baru saja menonton film 'enid' itu dan langsung patah hati melihat sikapnya pd keluarga. saya tdk tonton sampai selesai (karena kecewa berat). dan langsung browsing mengenai biografi-nya. ternyata tdk hanya saya yg patah hati.

    ReplyDelete